Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya
yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba
seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan
bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan
diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa
yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas
jima’, suami istri juga diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya.
Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah
dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri
mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan
masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara
pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan
efek yang maksimal saat berjima’.
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu
posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya
kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks.
Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu
tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya. Allah SWT
berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok
tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Demikian halnya dengan Sheikh Muhammad Ali Al-Hanooti, mufty, dalam
Islamawarness.net menegaskan bahwa oral sex diperbolehkan dalam Islam. Ali
Al-Hanooti menegaskan bahwa yang diharamkan dalam jima' hanya ada tiga hal,
diantaramya: Anal sex, berhubungan sex saat istri sedang haid atau menstruasi
dan sex pasca istri melahirkan (masa nifas). Sedangkan di luar ketiga hal itu,
hukumnya halal.
Hal yang sama juga diungkapkan : Ustadz Sigit Pranowo, Lc di
eramuslim.com. Dalam sebuah kajian konsultasi yang membahas tentang sex oral,
Sigit mengatakan bahwa Hubungan seksual antara pasangan suami istri bukanlah
hal yang terlarang untuk dibicarakan didalam Islam. Namun, bukan pula hal yang
dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan
sesamanya.
Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena
ini adalah kebutuhan setiap manusia, sebagaimana firman Allah swt,”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk
dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS.
Al Baqoroh : 223)
Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang
moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas
begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak
diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain
merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan
kasih sayang diantara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi
Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”..dan bersetubuh dengan istri juga
sedekah. Mereka bertanya,’Wahai
Rasulullah, apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya
(bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia
menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula apabila ia
menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral
seks, yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah)
pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai menyentuh,
mencium hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap
pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini
para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk
melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat
kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan
pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana
diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku
tidak pernah melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah
memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV
hal 2650)
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati
berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan
atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah
terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama kami, karena tujuan dari
berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush
Shona’i juz VI hal 157 - 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam
berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh
pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang
melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada
landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad
Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh
dari pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan
dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami
mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu
kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.”(HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits
Hasan Shohih.”) Karena
kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya
seperti bagian tubuh yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Aisyah yang berkata,”Aku
tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam lafazh yang lain, Aisyah
menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah
saw dan beliau saw tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan
suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan
pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak
mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah
Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof
DR Ali Al Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh
dilakukan oleh pasangan suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk
menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya
dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.
Meskipun banyak seksolog yang menempatkan oral seks ini kedalam kategori
permainan seks yang aman berbeda dengan anal seks selama betul-betul dijamin
kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi
kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit manakala tidak ekstra
hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi
adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya
ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental
memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut
para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama
Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya
An-Najmi berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks)
adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para
ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya
dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak
menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh
dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar
kewajaran dalam berhubungan).
Berhubungan disaat Haidh
Allah swt berfirman,”Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila
mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al BAqoroh : 222)
Ayat diatas telah menyebutkan bahwa haidh adalah kotoran yang keluar dari
kemaluan perempuan dan diminta kepada para suami yang mendapati istrinya sedang
dalam keadaan haidh untuk tidak menyetubuhinya hingga ia suci dari haidhnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa diharamkan bagi suami menyetubuhi (memasukkan
penis kedalam vagina) istrinya yang sedang dalam keadaan haidh dan
bersenang-senang dengan bagian tubuh yang ada diantara pusar dan lutut,
sebagaimana firman Allah swt,”
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh.”
Dibolehkan bagi suami yang mendapati istrinya sedang dalam keadaan haidh untuk
menikmati bagian tubuh yang ada diatas pusar. Dikarenakan jika ia
bersenang-senang dengan bagian yang dibawah pusar maka hal itu sangat mungkin
mendorong kepada terjadinya wath’u (masuknya penis kedalam vagina) dan ini
diharamkan sebagaiman sabda Rasulullah saw,”Maka
barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan jatuh
kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)
Adapun tentang kafarat jika terjadi wath’u yang dilakukan suami terhadap
istrinya maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama:
1. Para ulama madzhab Maliki, Hanafi dan
Syafi’i dalam pendapatnya yang baru adalah tidak ada kafarat namun diwajibkan
baginya untuk istighfar dan bertaubat.
2. Para
ulama Hambali, riwayat yang paling benar dari mereka, berpendapat wajib baginya
membayar kafarat dia boleh memilih dengan membayar 1 dinar (seharga 3,25 gr
emas, pen) atau ½ dinar. Kafarat ini tidak diwajibkan bagi yang memang tidak
mempunyai sesuatu untuk membayarnya.
3. Para
ulama madzhab Syafi’i berpendapat barangsiapa menggaulinya diawal keluarnya
darah maka ia harus bersedekah dengan 1 dinar sedangkan baangsiapa yang
menggaulinya diakhir keluarnya darah maka ia bersedekah dengan ½ dinar.